Pilkada dan Pemilu adalah Tolok Ukur Evaluasi Wa’yu Siyasi Islami

Hal itu berarti dalam kurun waktu 50 tahun lebih, suara yang hilang bagi partai Islam adalah sebesar 50%. Maka kini saya bertanya “Fa ‘aina du’at? Kemana para du’at?”, “Wa kaifaa da’wah”. Seperti apa dakwahnya sehingga tidak menghasilkan wa’yul Islami (kesadaran Islam) dan tidak menghasilkan wa’yu siyasi Islami?

Di Indonesia saat ini umat Islam di mana-mana, banyak yang memilikİ semangat religius, apalagi dari segi ibadah mahdhah atau ritual bisa dibilang sangat fenomenal, tetapi wa’yul Islami hampir tidak ada atau paling tidak selalu merosot. Oleh karena itu perlu kita telusuri apa yang salah dengan dakwah kita. Mengapa dakwah yang semarak di mimbar-mimbar majelis-majelis taklim, di televisi dan di radio dari sejak dini hari sampai malam hari, tidak menghasilkan wa’yul Islami dan terutama wa’yu siyasi Islami. Hal ini perlu kita pelajari karena kesemarakan majelis taklim luar biasa, bahkan semakin ke tengah kota semakin semarak. Di Jakarta rombongan ibu-ibu yang pulang dari majelis taklim, bagaikan sebuah kafilah yang pulang dari perjalanan jauh dengan semangat yang luar biasa. Adzan pun berkumandang di mana-mana sejak dulu hingga sekarang dan tidak pernah dilarang seperti di Turki. Adzan dalam Bahasa Arab di Turki pernah dilarang dari awal berkuasanya Kemal At Taturk 1923 sampai tahun 1955. Jadi sekitar 30 tahun lebih adzan dalam Bahasa Arab dilarang.

Bahkan di akhir tahun 1980-an, saya sempat melihat fenomena Islam yang masih sangat terbelakang di Turki, masjid hanya diisi oleh orang tua dan kalau baca kitab tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, misalnya ulama membacakan kitab Bukhari Muslim ya apa adanya dalam Bahasa Arab, tidak peduli orang mengerti atau tidak.

Kita tidak pernah merasakan fase seperti itu karena pesantren-pesantren dengan taklimnya, madaris ma’ahid dengan pendidikannya memiliki keleluasaan berkembang, tetapi sayangnya bila dilihat dari wa’yu islami-nya kok malah merosot.

Hal tersebutlah yang harus kita evaluasi karena kita bertanggung jawab untuk bersama-sama memperbaiki. Kita harus dapat memanfaatkan semangat religius yang bagus di Indonesia ini. Masyarakat yang selalu berada di ‘musim semi’ ini harus kita manfaatkan untuk mempercepat tumbuhnya wa’yu siyasi al islami agar jangan sampai umat Islam dari sisi politik bagaikan komoditi non migas.

Seorang tokoh agama misalnya mengatakan, “Saya punya pengikut 3 juta”, atau Ormas Islam mengatakan, “Saya punya anggota 10 juta”, lalu ditawarkan ke partai-partai untuk melakukan transaksi uang terkait dengan dukungan suara yang bisa diberikannya.

Kondisi tersebut menandakan wa’yu siyasi al Islami yang terus merosot.

Oleh karena itu, salah satu manfaat Pilkada dan Pemilu adalah sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi sejauh mana kita berhasil membangkitkan wa’yu siyasi al Islami sehingga suara umat Islam untuk partai Islam dan bukan untuk yang lain.

Jika wa’yu siyasi al islami itu tumbuh terus maka partai-partai Islam atau lembaga-lembaga perjuangan Islam akan mempunyai legitimasi yang tinggi dalam berjuang di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak dianggap partai yang marjinal atau sekedar menjadi hiasan demokrasi yakni bahwa umat Islam boleh berpartai. Seharusnya partai Islam menjadi partai yang dominan karena sudah selayaknyalah umat Islam yang mayoritas adalah yang paling menentukan garis kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharusnya kitalah yang paling berpeluang melaksanakan konsep rahmatan lil ‘alamin, sehingga kasih sayangnya menyentuh, membahagiakan dan mensejahterakan seluruh komponen bangsa.

Hal ini harus dijadikan bahan evaluasi oleh kita secara terus menerus.

_

Dikutip dari: “Lima Ibrah dari Musim Semi Arab”, Taujih KH. Hilmi Aminuddin dalam Rakornas Zona I, Bandung, 3 Februari 2012.

Laman: 1 2