Oleh karena itu tawasul bukan hanya sekedar tawasul. Berkomunikasi bukan sekedar berkomunikasi. Tapi harus ditindaklanjuti dengan kemampuan kita mengembangkan ta’aruf (saling mengenal) antara karakter masing-masing lingkungan. Apakah kepartaian, kejama’ahan, etnik, kebangsaan, ideology, dan keagamaan. Kita harus berta’aruf dan selanjutnya harus bisa bertafahum (memahami). Memahami siapa mereka dan siapa kita. Memahami madza nuriidu minhum, apa yang kita inginkan dari mereka. Memahami madza yuriiduuna minna, apa yang mereka inginkan dari kita. Sehingga melalui basis pemahaman yang mendalam itu, kita bisa melakukan al-akhdzu wal ‘atha (take and give) memberi dan menerima dalam rangka merakit kebersamaan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Bukan hanya dalam kejama’ahan, keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Bahkan merakit amal jama’i dalam ruang lingkup kemanusiaan antar bangsa, umat, agama, partai, ideology, dan keyakinan-keyakinan. Karena pada hakekatnya kemanusiaan ini diciptakan untuk membangun kebersamaan.
Sudah barang tentu dengan landasan kemampuan bertafahum. Kita harus lanjutkan dengan kemampuan/peningkatan kemampuan berta’awun. Peningkatan kemampuan takaful dengan seluruh komponen kemanusiaan.
Insya Allah, jika tuntutan-tuntutan pengembangan amal jama’i dalam ruang lingkup mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, dan mihwar muassasi ini selalu kita kembangkan, selalu kita tumbuhkan, insya Allah, mihwar daulah akan segera diberikan Allah kepada kita bahkan didekatkan kepada kita.
Tanggung jawab ini hanya bisa dipikul oleh orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Q.S. Fushilat: 33)
Mereka yang tahu batas-batas:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.” (Q.S. Fushilat: 34)
Dalam berkomunikasi selalu bisa mengungguli secara moral, secara idiil. Makanya kita merespon kemungkinan yang lebih baik lagi.
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,” (Q.S. Fushilat: 34)
Sehingga komunikasi kita selalu memperbaiki stigma-stigma negatif. Bisa memperbaiki su’udzan, bisa memperbaiki prasangka-prasangka buruk kepada kita dan juga dari kita kepada yang lain. Sehingga kalau sudah bisa menjelaskan kerangka kehidupan seperti itu, kata Allah:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. Fushilat: 34)
Kita bisa akrab, bisa ka annahu waliyyun hamiim antar organisasi, partai, umat, agama, kelompok, komunitas, bangsa, ideologi. Kita bisa menemukan titik temu. Menemukan platform kerja bersama, sehingga ka annahu waliyyun hamiim.
Sudah barang tentu, kata Allah SWT yang bisa melakukan itu adalah:
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Fushilat: 35)
Yang bisa melakukan itu adalah orang yang sabar. Sabar menahan gejolak pribadinya, gejolak semangatnya, gejolak emosinya dalam berkomunikasi. Mungkin sumber dari gejolak itu bisa aqidah, ideologi, dan na’udzubillah bisa juga hawa nafsu. Semuanya harus dikendalikan.
“…dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Q.S. Fushilat: 35)
Yang bisa melakukan pengendalian dalam berkomunikasi, bekerja sama, bertawashul, berta’aruf, bertafahum, berta’awun, dan bertakaful ke seluruh komponen kemanusiaan hanya mereka yang mendapatkan karunia besar dari Allah SWT.
Dan ini diharapkan baik ikhwan dan akhwat sebagai kader-kader dakwah tampil sebagai negarawan-negarawan. Tampil sebagai kepemimpinan dalam kehidupan kemanusiaan. Inilah yang kita harapkan, yang tidak berpandangan sempit, tapiberwawasan luas. Beridealita yang terasa cita-cita kemanusiaan ada di benak pikiran mereka. Sehingga seluruh kemanusiaan Insya Allah akan mendukung kepemimpinan mereka. Itulah yang disebut ustadziyatul alam (guru/pemimpin dunia, red.).
Ustadz bisa diterima oleh lapisan masyarakat kemanusiaan. Sudah barang tentu, kita tidak boleh berhati sempit, shudur mutadhayyiqah, dada yang menyempit; qulub mutaghalliqah, hati yang menutup diri dalam berkomunikasi dengan yang lain, ‘uqul mutaghaffilah, akal yang lalai untuk mengembangkan kewajiban-kewajiban komunikasi, ta’aruf, ta’awun, takafuldalam ruang lingkup yang lebih luas sampai ke level kemanusiaan.
Sekali lagi, amal jama’i bukan doktrin eksklusif hanya dalam kehidupan kejama’ahan. Amal jama’i adalah doktrin inklusif dalam ruang lingkup kemanusiaan lebih luas. Itulah yang diamanatkan dalam bentuk ustadziyatul ‘alam. Sehingga yang kita bangun bukan hanya jama’ah, masyarakat, atau daulah. Bahkan tidak terbatas kepada khilafah. Tapi binaaul hadharah basyariyah, membangun peradaban kemanusiaan. Yang bisa melakukan itu adalah illalladziina shabaruu dan illalladzina dzuu hadhin ‘azhiim. Insya Allah, ikhwat dan akhwat adalah orang-orang yang layak disebut alladzina shabaru dan alladzina dzuu hadhin ‘azhiim. Insya Allah…
Kita menyongsong masa depan yang memerlukan kedewasaan, kematangan, di samping keteguhan prinsip-prinsip. Insya Allah, inilah basis perjuangan beramal jama’i kita. Harus—sekali lagi—bisa dikembangkan, diperluas, diperlebar, tanpa harus meninggalkan basis-basis ashalah. Tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip. Bahkan basis-basis ashalah sudah memberikan landasan untuk menuju posisi ustadziyatul ‘alam itu.
Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan ri’ayah dan inayah. Agar kita disamping kukuh dalam ashalah, juga mampu mengembangkan khutuwat tathwiriyah (langkah-langkah pengembangan) mencapai ruang lingkup yang lebih luas. Bukan hanya ruang lingkup kejama’ahan. Tapi juga ruang lingkup kehidupan berbangsa, bernegara, dan kemanusiaan. Insya Allah dengan ri’ayah dan inayah Allah SWT kita bisa mencapai posisi seperti itu, dan menghantarkan kita kepada ustadziyatul ‘alam.***