Politisi PKS Desak Pemerintah Segera Revisi UU Cipta Kerja

JAKARTA — Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri terus berlanjut. Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak menilai, ancaman kehilangan mata pencaharian diperparah karena Undang-Undang Cipta Kerja dinilai tidak memberikan perlindungan yang layak bagi korban PHK.

“Pemerintah pJakarta (22/11) — Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri terus berlanjut. Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak menilai, ancaman kehilangan mata pencaharian diperparah karena undang-undang cipta kerja dinilai tidak memberikan perlindungan yang layak bagi korban PHK.

“Pemerintah perlu melihat bahwa sudah banyak masyarakat yang dikorbankan oleh ‘ketidakberpihakan’ aturan kepada buruh dalam UU Cipta Kerja . Sudah banyak suara keprihatinan yang menyatakan UU Cipta Kerja tidak menguntungkan bagi pekerja,” tegas Amin.

Lebih lanjut Amin mengatakan, pemerintah perlu mengambil sikap tegas terkait status UU Cipta Kerja saat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat dan wajib memperbaikinya dalam dua tahun, adalah solusi yang semestinya dimanfaatkan dengan baik.

Amin mengatakan, sebetulnya MK masih menyelamatkan ‘muka’ pemerintah dengan tidak membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan, tetapi dengan memberikan waktu untuk perbaikan.

“Jangan ditunda lagi. Perbaikan itu harus segera dilakukan,” kata Amin.

Amin menyoroti pasal 151 ayat 2 dalam UU Ciptaker menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, alasan PHK ‘diberitahukan’ oleh pengusaha kepada pekerja. Ketentuan itu berbeda dengan pasal 151 ayat 2 di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja.

Amin pun berharap, perubahan yang dilakukan bukan hanya sekedar mengubah prosedur penyusunannya, supaya metode omnibus dianggap legal. Perubahan itu harus menyentuh substansinya, agar betul-betul adil dan tidak merugikan baik buruh maupun pengusaha.

Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu mengatakan, pemerintah harus mengamandemen pasal-pasal yang tidak berpihak kepada buruh.

“Antara lain aturan yang memberi ruang perusahaan bisa melakukan PHK secara sepihak tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan industrial, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang tidak tegas batasannya, serta tidak adanya aturan tentang batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing sehingga menjadikan posisi pekerja semakin lemah,” ujarnya.

Amin juga menyoroti sulitnya pekerja atau buruh menuntut hak pesangon karena prosedur hukumnya sangat panjang. Sudah banyak kasus, perusahaan yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang. Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK karena selama ini Kementerian Ketenagakerjaan maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.

“Pemerintah harus bisa memastikan pekerja atau buruh korban PHK mendapatkan pesangon yang layak. Pemerintah bisa merevisi aturan pesangon dengan aturan yang memudahkan dan mempersingkat pengajuan tuntutan hak pesangon bagi pekerja korban PHK di pengadilan,” pungkasnya. Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat dan wajib memperbaikinya dalam dua tahun, adalah solusi yang semestinya dimanfaatkan dengan baik.

Amin mengatakan, sebetulnya MK masih menyelamatkan ‘muka’ pemerintah dengan tidak membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan, tetapi dengan memberikan waktu untuk perbaikan.

“Jangan ditunda lagi. Perbaikan itu harus segera dilakukan,” kata Amin.

Amin menyoroti pasal 151 ayat 2 dalam UU Ciptaker menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, alasan PHK ‘diberitahukan’ oleh pengusaha kepada pekerja. Ketentuan itu berbeda dengan pasal 151 ayat 2 di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa apabila PHK tidak dapat dihindari, maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja.

Amin pun berharap, perubahan yang dilakukan bukan hanya sekedar mengubah prosedur penyusunannya, supaya metode omnibus dianggap legal. Perubahan itu harus menyentuh substansinya, agar betul-betul adil dan tidak merugikan baik buruh maupun pengusaha.

Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu mengatakan, pemerintah harus mengamandemen pasal-pasal yang tidak berpihak kepada buruh.

“Antara lain aturan yang memberi ruang perusahaan bisa melakukan PHK secara sepihak tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan industrial, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang tidak tegas batasannya, serta tidak adanya aturan tentang batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau _outsourcing_ sehingga menjadikan posisi pekerja semakin lemah,” ujarnya.

Amin juga menyoroti sulitnya pekerja atau buruh menuntut hak pesangon karena prosedur hukumnya sangat panjang. Sudah banyak kasus, perusahaan yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang. Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK karena selama ini Kementerian Ketenagakerjaan maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.

“Pemerintah harus bisa memastikan pekerja atau buruh korban PHK mendapatkan pesangon yang layak. Pemerintah bisa merevisi aturan pesangon dengan aturan yang memudahkan dan mempersingkat pengajuan tuntutan hak pesangon bagi pekerja korban PHK di pengadilan,” pungkasnya.