HUT ke-78 RI, Fraksi PKS: Janji Pemerintah Wujudkan Kesejahteraan Rakyat Belum Tunai

JAKARTA – Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan RI ke-78. “Atas nama pimpinan dan anggota Fraksi PKS DPR RI kami mengucapkan selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78. Kita harus terus semangat dan optimis dalam membangun bangsa,” ungkapnya di Gedung MPR/DPR Senayan (17/08/2023).

Jazuli Juwaini mengatakan kemerdekaan adalah anugerah terbesar bangsa Indonesia yang wajib disyukuri. Ia hadir, sebagaimana disebut dalam UUD 1945 ‘atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa’. Ia juga hadir atas perjuangan dan pengorbanan para pahlawan dan pendiri bangsa.

“Kepada Allah kita bersyukur dan kepada para pahlawan kita berterima kasih seraya kirimkan doa kebaikan, alfatihah,” kata Jazuli.

Indonesia termasuk negara pertama yang merdeka pasca Perang Dunia ke-2. Kemerdekaan bangsa kita menginspirasi negara-negara terjajah lainnya khususnya di Asia dan Afrika untuk merdeka. Bahkan Indonesia menjadi inisiator perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia ketika menggelar Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.

“Kemerdekaan Indonesia sejak awal menjadi inspirasi dunia. Bangsa ini sejak awal merdeka menjadi pemimpin bangsa-bangsa di dunia untuk meraih kemerdekaannya. Dan spirit itu tertulis jelas dalam Pembukaan UUD 1945, ‘penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” tegas Anggota Komisi I DPR ini.

Refleksi dan Introspeksi

Sebagai inspirator dan inisiator kemedekaan bangsa-bangsa di dunia, nyatanya perjalanan bangsa Indonesia tidak mudah bahkan terseok-seok dalam mewujudkan tujuan bernernegara untuk mensejahterakan rakyatnya. Indonesia terjebak dalam ‘middle income trap’, berpuluh tahun sebagai negara berkembang dan belum beranjak menjadi negara maju.

“Padahal, negara-negara lain yang merdeka hampir bersamaan atau belakangan telah jauh lebih maju seperti Korsel, Singapura, atau Malaysia,” terangnya.

Kita syukuri pencapaian setiap pemerintahan, termasuk 9 tahun dipimpin oleh Presiden Jokowi. Tapi kita harus jujur mengakui masih banyak ketertinggalan, kelemahan, dan kekurangan yang menjadi pekerjaan rumah kita sebagai bangsa. Janji pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat belum tunai.

Pemerintah, lanjut Anggota DPR Dapil Banten, belum sanggup memenuhi amanat konstitusi secara maksimal yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jabarannya, antara lain, pada Pasal 34 UUD : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Juga pasal-pasal tentang hak fundamental warga negara seperti akses pendidikan, kesehatan, pangan, dan lainnya. Realitasnya masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, gizi buruk, kesulitan pangan, putus sekolah, menganggur, dan seterusnya.

Fraksi PKS mengkritisi capaian pembangunan era Jokowi sebagai berikut.

“Hal ini perlu kita sadari untuk introspeksi, bukan untuk melemahkan, sebaliknya agar terus optimis mengejar ketertinggalan dengan cara dan kinerja terbaik,” tandasnya.

Pertama, kata Jazuli, kinerja pertumbuhan ekonomi kita cukup baik tapi perlu waspada. Pertumbuhan ekonomi stagnan maksimal 5% dengan rerata dari 2014-2024 hanya 4,2%. Angka ini jauh dari optimisme Presiden Jokowi di awal menjabat yaitu 7%, bahkan belum pernah menyentuh target yang direncanakan hingga akhir 2024 yaitu di angka 6-6,2%. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut, rasanya semakin sulit untuk mencapai target menjadi negara maju pada Indonesia Emas 2045.

“Kedua, tingkat kemiskinan kita masih sangat tinggi dan tidak bergeser banyak dari 10 tahun silam, apalagi dihantap pandemi covid 19 selama 3 tahun. Ada 9,36% atau sebesar sebesar 25,90 juta orang berada di bawah garis kemiskinan dan 1,12% berada pada kemiskinan ekstrem (Maret 2023). Sejalan dengan itu, angka pengangguran terbuka 5,45% pada Februari tahun 2023. Di sisi lain, tenaga kerja kita mayoritas 60% didominasi oleh tenaga kerja informal dan berpendidikan rendah.

Potret tenaga kerja Indonesia juga masih dominan di sektor tradisional dengan upah yang rendah. Selain itu, perkembangan digitalisasi dan otomatisasi yang berlangsung masif dan cepat juga berpotensi menimbulkan disrupsi pada kompetensi dan pasar tenaga kerja Indonesia. Kalau tidak cepat diantisipasi akan semakin banyak tenaga kerja menganggur di republik ini,” urainya.

Ketiga, lanjut Jazuli, Kualitas SDM kita masih kalah dan tertinggal dari negara-negara di kawasan. Pemerintah belum bisa mengoptimalkan kinerja anggaran 20% APBN untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada posisi 130 dari 199 negara (2022). Indeks Daya Saing Global Indonesia pada posisi 34 dari 64 negara yang dinilai (2023). Skor PISA (Program for Internasional Student Assessment) Indonesia juga masih di bawah rerata OECD dan ASEAN-5. Hal yang sama juga ditunjukkan dari angka partisipasi kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan negara lain. Hal itu menunjukkan mandatory spending untuk pendidikan belum optimal kinerjanya.

“Keempat, sektor kesehatan rakyat masih mengidap banyak masalah. Alokasi anggaran kesehatan 2024 direncanakan sebesar Rp186,4 triliun atau 5,6% dari APBN, sesungguhnya belum membawa perubahan yang signifikan, bagi kualitas layanan Kesehatan dalam sepuluh tahun terakhir. Pravalensi stunting (gizi buruk) kita meski terus menurun tapi masih tinggi berdasarkan standar WHO. Pemerataan kesehatan, ketersediaan dokter tenaga kesehatan dan obat-obatan di daerah terpencil masih bermasalah. Selain itu, belum optimalnya layanan dasar dan kegiatan promotif dan preventif, yang tecermin masih tingginya persentase puskesmas yang belum memenuhi standar tenaga kesehatan dan kelayakan secara peralatan,” terangnya.

Kelima, imbuh Jazuli, ketimpangan ekonomi sosial rakyat Indonesia masih sangat lebar. Kue pembangunan dan kekayaan nasional dinikmati secara tidak merata. Dalam catatan Bank Dunia ketimpangan di Indonesia menjadi nomor 3 terburuk di dunia. 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50,2 % kekayaan nasional. Rasio gini kita juga masih lebar bahkan pada bulan Maret 2023 angkanya meningkat menjadi 0,388, dari September 2022 yang sebesar 0,381 yang menunjukkan ketimpangan ekonomi makin lebar.

“Keenam, Indeks Persepsi Korupsi terus mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di periode kedua pemerintahan Jokowi. IPK Indonesia posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34 turun dari tahun sebelumnya skor 38 (2022). Pejabat era Jokowi banyak menjadi tersangka dan terpidana korupsi (5 menteri dan puluhan pejabat) dengan total kerugian negara mencapai ratusan miliar hingga triliunan. Hal ini menunjukkan tingginya moral hazard dan kebocoran anggaran yang semestinya bisa mempercepat kemajuan,” tegas Jazuli.

Ketujuh, kata Jazuli, Pemerintah masih belum mampu mewujudkan swasembada pangan nasional yang sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan. Impor masih terus dilakukan, tanpa memperhatikan musim panen dan fokus pada ketahanan pangan. Sementara itu, program Food Estate yang diharapkan menjadi lumbung pangan, gagal dilaksanakan di beberapa kawasan sehingga menyisakan kerugian serta kerusakan lingkungan.

“Kedelapan, kemandirian pembangunan nasional dari jerat hutang cukup mengkhawatirkan. Beban utang pemerintah yang akan diwariskan pada generasi mendatang angkanya sudah mencapai Rp7.855,53 triliun per 31 Juli 2023. Dengan jumlah itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 37,8%. Selain itu, pembayaran bunga utang dalam APBN 2024 mencapai Rp497,32 triliun atau meningkat 12,7% dari tahun 2023. Bunga utang mencapai 15,05% dari belanja negara, 75,5% dari anggaran pendidikan dan 266% dari belanja kesehatan, sebuah nilai yang sangat membebani APBN.

Sayangnya APBN yang terbatas justru digunakan untuk proyek yang ambisius, tidak prioritas, bahkan bermasalah sejak perencanaan seperti membangun Ibu Kota Negara baru, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, termasuk penyertaan modal untuk BUMN-BUMN yang terus merugi,” jelas Anggota DPR RI dari Dapil Banten II ini.

Kesembilan, tambahnya, sejumlah undang-undangan dan kebijakan nasional nir partisipasi publik yang memadai bahkan kerap menafikan suara-suara kritis dan konstruktif. Sehingga undang-undang tersebut mendapat penolakan luas karena merugikan masyarakat dan kepentingan nasional. Sebaliknya, UU dan kebijakan tersebut dinilai memperkuat oligarki, liberalisasi ekonomi, resentralisasi dan pelemahan demokrasi sosial ekonomi dalam berbagai bidang. Diantara UU yang bermasalah adalah UU Cipta Kerja, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Ibu Kota Negara, UU KUHP, UU Kesehatan, dan lainnya.

Transformasi Pembangunan Nasional

Seluruh permasalah di atas harus memacu semangat dan optimisme bangsa Indonesia untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan. Keberlanjutan terhadap hal-hal yang baik dan progresif adalah keniscayaan. Sebaliknya kita tidak boleh antipati untuk mengoreksi dan mentransformasi arah pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan, lebih transparan dan akuntabel, serta lebih berintegritas dan bermartabat.

“Kebijakan pemerintah harus didesain dan diimplementasikan untuk sebesar-sebasar kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. Bukan kepentingan oligarki dan segelintir orang. Integritas dan akuntabilitas harus dijaga. Kecepatan adaptasi dan inovasi kemajuan harus digesakan. Abuse of power dan moral hazard harus dicegah secara sistemik sehingga mencegah ruang-ruang koruptif yang merugikan pembangunan. Dengan begitu, kita optimis Indonesia segera maju dan sejahtera,” pungkas Jazuli.***