Hadapi Tahun Politik, HNW: BPIP Mestinya Fokus pada Pancasila, Tak Cawe-Cawe Soal Sistem Pemilu

Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW).

JAKARTA – Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi , Hidayat Nur Wahid, mengkritik Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila () yang ‘cawe-cawe’ terkait sistem pemilu, dengan berkomentar ‘sistem pemilu tertutup tidak akan membuat negara bubar dan di era orde baru dengan sistem tertutup aman-aman saja atau senang-senang saja.

Padahal, imbuh Hidayat, sikap yang dinyatakan itu, bila dikaitkan dengan tahun politik sekarang ini, jelas tidak sejalan dengan ketentuan Pancasila dan Konstitusi yang sekarang berlaku.

HNW sapaan akrabnya menilai bahwa pernyataan yang terkesan permisif dengan sistem tertutup sebagaimana diberlakukan pada era orde baru tersebut justru tidak sejalan dengan ketentuan sila Keempat Pancasila terkait ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.’

“Sebab kalau dicermati kronologi bagaimana sistem pemilu terbuka itu kembali dipilih, itu semua sejatinya adalah hasil dari permusyawaratan dengan hikmat kebijaksanaan dalam lembaga perwakilan untuk menjaga kedaulatan rakyat,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (5/6).

Lebih lanjut, HNW menjelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga perwakilan sudah berkali-kali bermusyawarah dengan pemerintah yang diwakili oleh Kemendagri dan Kemenkumham serta bersama lembaga pelaksana Pemilu (Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dengan hikmat dan bijaksana.

“Hingga diakhir musyawarahnya, pada Januari 2023, Lembaga-Lembaga Perwakilan Rakyat, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu sepakat memutuskan bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, bukan kembali ke sistem tertutup sebagaimana berlaku di era orba,” ujarnya.

“Maka mempertimbangkan fakta sudah dilaksanakannya sila ke 4 Pancasila sebagaimana di atas, seharusnya sebagai lembaga yang membina ideologi Pancasila malah mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk juga mempertimbangkan serius hasil musyawarah yang dilakukan oleh DPR, Pemerintah, KPU dan lainnya sebagaimana disebut. Apalagi, keputusan musyawarah yang lanjutkan pemberlakuan sistem terbuka itu tidak melanggar satu pasal pun ketentuan UUD NRI 1945,” kata dia.

“Jadi mestinya mengingatkan MK untuk juga melaksanakan ketentuan sila Keempat itu sebagaimana sudah dilakukan oleh DPR, Pemerintah dan KPU, bukan malah cawe-cawe yang malah tidak sesuai dengan esensi sila ke 4 Pancasila dan Konstitusi yang sekarang berlaku,” tambah HNW.

HNW mengatakan lebih aneh lagi yang dilahirkan pasca reformasi justru seperti menjustifikasi bahwa ‘tidak masalah kembali ke sistem tertutup yang diberlakukan di era Orde Baru. Suatu orde yang sudah dikoreksi dengan hadirnya reformasi’.

“Kalaupun orde baru dulu menggunakan sistem tertutup, itu karena UUD yang berlaku di era orde baru memang sama sekali tidak mengatur soal pemilu, berbeda dengan UUD NRI 1945 yang berlaku di era Reformasi, yang menghadirkan banyak ketentuan baru, antara lain soal Pemilu,” ujarnya.

Beberapa ketentuan baru terkait Pemilu itu, di antaranya, adalah penegasan kedaulatan rakyat sebagai Pemilih sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 pasca amandemen.

Ketentuan itu berbunyi, ‘Kedaulatan di tangan Rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Selain itu, ada pula Pasal 22E yang mengatur soal Pemilu dan menyatakan bahwa Pemilu antara lain untuk memilih anggota DPR, anggota DPRD dan anggota DPD. Tapi UUDNRI 1945 yang sekarang berlaku, samasekali tidak menyebut adanya ketentuan bahwa Pemilu untuk memilih tanda gambar Partai Politik peserta Pemilu.

“Ketentuan-ketentuan baru dalam UUD NRI 1945 itu lebih sesuai dengan sistem proporsional terbuka, bukan tertutup,” tukasnya lagi.

Apalagi, lanjutnya, MK sendiri juga sudah membuat putusan yang final mengikat pada tahun 2008 yang mengarahkan sistem Pemilu berubah dari tertutup menjadi proporsional terbuka. Dan itulah yang dilaksanakan sejak Pemilu 2009, 2014, 2019.

HNW mengatakan seharusnya BPIP mengkaitkan pengamalan ideologi Pancasila itu juga dengan penjabarannya sebagaimana yang ada dalam ketentuan konstitusi yang berlaku sekarang ini.

“Atau dengan ‘cawe-cawe’ melempar wacana dengan logika seperti itu, jangan-jangan BPIP juga akan tidak mempermasalahkan Presiden tiga periode atau penundaan pemilu, dengan dalih yang sama, bahwa di masa Orba itu semua terjadi dan negara tidak bubar, dan semuanya baik-baik dan senang-senang saja. Memang benar itu semua terjadi di era Orba, karena tidak menyalahi konstitusi yang berlaku saat itu. Tetapi tentunya BPIP tahu, bahwa Konsitusi yang berlaku sekarang ini berbeda dengan yang berlaku di zaman Orba. UUD NRI 1945 sekarang tegas mengatur jabatan presiden maksimal dua periode (Pasal 7), dan pemilu diselenggarakan lima tahun sekali di Pasal 22E ayat (1),” jelasnya.

Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera () ini sangat menyesalkan ‘cawe-cawe’ pernyataan Wakil Kepala BPIP yang dapat membuat gaduh terkait sistem pemilu di tahun politik ini.

“Semestinya pada tahun politik seperti ini, BPIP justru berkontribusi maksimal, mengingatkan semua pihak agar Pancasila dengan semua silanya dilaksanakan dengan jujur dan serius, agar hasil Pemilu benar-benar mencerminkan Pancasila dan UUD NRI 1945 yang dilaksanakan,” katanya.

Selain itu, lanjut HNW, BPIP sebaiknya fokus mengingatkan semu pihak, baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan kandidat capres/cawapres, caleg serta pemilih atau pemilik kedaulatan yaitu rakyat untuk berkontribusi mensukseskan pemilu yang benar-benar melaksanakan semua sila Pancasila.

“Termasuk juga mengingatkan para pejabat negara yang masih menjabat untuk tidak cawe-cawe yang dapat menghadirkan ketidakadilan bagi pelaksanaan pemilu,” tambahnya.

“Agar etika dalam berpolitik saat kompetisi ber-pemilu (Pilpres,Pileg,Pilkada) betul-betul dilaksanakan sesuai Sila Pertama; semua pihak termasuk aparat agar menjauhi sikap tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab sesuai sila Kedua; kuatkan komitmen persatuan bangsa, jangan memecah belah atau mengadu domba, dan mengkreasi atau menyebar fitnah, rekayasa atau hoax, sesuai sila Ketiga; mengedepankan dan menghormati hasil musyawarah, bukan mau menang sendiri atau egois, sesuai sila Keempat; dan benar-benar berorientasi kepada kemaslahatan yang lebih besar dengan bisa terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai sila Kelima,” ucap Wakil Ketua Majelis Syura itu.

“Agar Pemilu justru oleh BPIP dijadikan sebagai ajang pembuktian komitmen melaksanakan semua sila Pancasila, sebagai identitas bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat,” pungkasnya.***

Tags: , ,