JAKARTA – Sebuah ironi besar menyelimuti kebijakan pemerintah Penetapan Biaya Haji. Dua kali kenaikan biaya haji dirumuskan dalam setahun, kenaikan terjadi tahun di 2023 dan bahkan tahun 2024 mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun, yang lebih mencengangkan, adalah bagaimana keputusan ini ditetapkan —dengan tertawa gembira dan seloroh yang nyaris menegaskan keberadaan.
Di sisi lain, Proses pembuatan undang-undang menjadi seperti perenang yang centangnya tak pernah berhenti. Disahkan, direvisi, kemudian disahkan kembali. Semua itu terjadi dengan kecepatan yang luar biasa, dikejar oleh nafsu dan kehendak. Ironisnya, kecepatan diterapkan dalam pembuatan kebijakan, namun kekaburan dan keraguan dalam proses implementasinya. Lihat saja bagaimana kabar investor yang on – off untuk menanamkan modalnya di IKN. Hilang tersapu isu yang saling bertindihan.
Kini peristiwa aneh dan anomali menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Sambil menunggu reaksi publik, situasi gaduh terulang kali disuguhkan. Mulai dari keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK), Revisi Undang-Undang Ibukota Negara (IKN) yang ‘seumur jangung’, hingga revisi Undang-Undang Cipta Kerja—semua dilakukan dengan menabrak nalar publik dan mendiskreditkan esensi demokrasi.
Sorotan terakhir tertuju pada perancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta, terutama pada Pasal 10 yang menegaskan bahwa proses penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur akan ditentukan langsung oleh Presiden.
Kebijakan ini tidak hanya meminggirkan peran masyarakat dalam memilih pemimpinnya, tetapi juga mencederai nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Melalui kenaikan biaya haji yang diterapkan tanpa empati dan kebijakan-kebijakan lain yang melibas nilai-nilai demokrasi, pemerintah tampaknya telah mengambil jalur ugal-ugalan dalam menyusun kebijakan. Ini adalah panggilan bagi kita sebagai masyarakat untuk mempertanyakan dan menjaga integritas nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi landasan negara, sekaligus mengingatkan bahwa kebijakan seharusnya dibentuk untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan sempit yang hanya menguntungkan segelintir orang.***