BATAM – Seorang perempuan berbaju motif volkadot sedang duduk-duduk di teras rumahnya sore itu. Dia duduk bersandar di pintu rumah. Tampaknya sedang tidak melakukan aktivitas apapun di rumah kayu kecil yang mulai lusuh.
Kulit perempuan itu berwarna cokelat gelap, rambutnya hitam ‘dibigen’ berwarna kekuning-kuningan. Mulanya ragu mendekatinya, tetapi karena dia sudah melempar senyum lebih dulu dan mengetahui ada pendatang, keraguanpun hilang untuk bercakap-cakap dengannya.
“Sulasih,” dia memberi tahu namanya. Dia mengaku sebagai keturunan suku laut di Batam. Sempat kaget, saat Sulasih memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia yang lancar.
Dari Sulasih, sekilas cerita tentang kehidupan suku laut di sana sudah berubah. Sebelumnya, suku laut dikenal sebagai masyarakat yang hidup di perahu. Kini, di antara mereka sudah membangun rumah di pesisir pantai, termasuk Sulasih dan keluarga yang membangun rumah di pesisir Kampung Tua Tanjung Gundap, Batam ini.
” Waktu saya umur 10 tahun, kami tidak lagi tinggal di perahu, sebelumnya kehidupan nenek moyang kami dihabiskan di perahu, sekarang kami sudah punya tempat tinggal,” kata perempuan yang mengaku berumur 30 tahun ini beberapa waktu lalu.
Bisa dikatakan Sulasih dan keluarganya adalah potret modern suku laut Kepri. Di rumahnya tampak tersedia barang-barang elektronik seperti tv, DVD dan speaker. Mereka telah mengenal sekolah, agama dan teknologi.
” Kami sudah punya agama, kami kristen, dulu tidak punya agama. Anak-anak kami sudah sekolah,” ungkap perempuan yang memiliki 4 orang anak tersebut.