Tolak Kenaikan BBM, PKS Berikan Sejumlah Catatan: Inflasi Tinggi hingga Kemiskinan Meningkat

Anggota Fraksi PKS DPR RI, Anis Byarwati.

JAKARTA — Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak kenaikan Harga BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. Seperti diketahui pemerintah telah mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis pertalite dari harga semula Rp. 7650 menjadi Rp10.000 dan solar dari harga Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter.

Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS, Anis Byarwati memberikan sejumlah catatan kritis mengenai dampak kenaikan BBM. Anis menuturkan akan terjadi inflasi terutama di sektor pangan akibat kenaikan BBM. Ia meyebut pelaku usaha UMKM dan kehidupan masyarakat akan langsung merasakan dampaknya.

“Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi adalah ancaman akan terjadinya inflasi yang cukup tinggi pada tahun ini. Jika terjadi kenaikan harga pertalite dari Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter atau naik sekitar 30 persen, maka asumsinya inflasi akan naik sebesar 3 persen, di mana setiap kenaikan 10 persen BBM bersubsidi, inflasi bertambah 1,2 persen,” ujar Anis Byarwati dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/9/2022).

“Inflasi pada Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen, terutama karena tingginya inflasi kelompok volatile food (inflasi pangan) yang telah mencapai 11,5 persen. Maka bisa dipastikan, jika harga BBM bersubsidi naik sebesar 30 persen maka angka inflasi hingga akhir tahun bisa menembus angka 7-8 persen. Kondisi ini akan memukul kehidupan masyarakat banyak khususnya pelaku usaha UMKM, di mana daya beli dan konsumsi masyarakat akan semakin melemah,” lanjut Anis.

Anis juga menyoroti dampak kenaikan harga BBM yang akan meningkatkan angka kemsikinan juga bertambahnya angka pengangguran, ia menyebut besaran BLT yang diberikan tidak sebanding dengan tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat.

“Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi solar dan pertalite, dipastikan akan meningaktkan angka kemiskinan dan pengangguran. Kebijakan pemerintah mengeluarkan bansos senilai Rp 24,17 triliun, dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU) dan mengalokasikan 2 persen dana transfer umum pemerintah daerah untuk sektor transportasi umum, ojek, dan nelayan, tidak terlalu banyak membantu. Adapun alokasi besaran Bansos tidak sebanding dengan tekanan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat akibat dampak Covid-19 dan angka inflasi yang sudah tinggi sebelumnya,” beber Anis.

“Besar kemungkinan pada akhir tahun 2022, angka kemiskinan dan pengangguran akan kembali meningkat. Adapun jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan pada Maret 2022 terdapat 26,16 juta jiwa atau 9,54 persen penduduk. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2022 terdapat 8,4 juta orang atau 5,83 persen dari total angkatan kerja. Kenaikan BBM diprediksi akan menyebabkan angka kemiskinan akan mendekati 10,00 persen dan tingkat pengangguran mencapai 6,00 persen,” lanjut Anis.

Lebih jauh, Anis Byarwati mengatakan saat ini bukan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM, sebab masyarakat masih berjuang memulihkan kondisi perekonomiannya pasca dilanda pandemi.

Banyak pihak menyatakan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan bahan bakar minyak (BBM). Aktivitas ekonomi masyarakat khususnya UMKM baru saja menggeliat pasca melandainya Covid-19. Pada saat yang sama kondisi geo-politik perang Rusia-Ukraina, membuat perekonomian global semakin tidak pasti karena ancaman inflasi tinggi. Masyarakat butuh waktu untuk kembali menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini. 

Kenaikan harga BBM bukan sekadar menaikkan biaya transportasi kendaraan pribadi saja, tapi juga ke hampir semua sektor ekonomi akan terdampak, terutama sektor yang berhubungan dengan masyarakat secara umum.