JAKARTA — Untuk pengetatan distribusi BBM bersubsidi, pemerintah berencana akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Rofik Hananto meminta revisi Perpres tersebut harus dapat memperbaiki distribusi BBM yang bersifat penugasan seperti pertalite dan solar bersubsidi.
“Saya belum tahu persis isi revisinya, tetapi bayangan saya, revisi Perpres harus dapat memperbaiki distribusi BBM. Khusus yang sifatnya penugasan seperti pertalite harus lebih tepat sasaran karena volumenya yang terbatas. Demikian juga yang solar bersubsidi,” kata politikus PKS tersebut di Jakarta, Sabtu (30/7/2022).
Anggota Fraksi PKS DPR RI itu mengatakan, pertalite dan solar merupakan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP), di mana distribusinya diatur dan diawasi oleh BPH Migas.
“Khusus untuk stok pertalite, saat ini memang banyak SPBU yang sering kehabisan stok, hal ini karena terjadinya pergeseran penggunaan BBM dari pertamax ke pertalite. Karena SPBU sering kehabisan stok pertalite, saat stok sudah tersedia, terjadi antrian panjang kendaraan baik roda dua ataupun roda empat,” katanya.
Legislator asal Dapil Jawa Tengah 7 ini menambahkan, adanya panic buying dari masyarakat, juga menjadi salah satu faktornya karena adanya kebijakan Pertamina yang akan mewajibkan pembelian pertalite dengan aplikasi My Pertamina per 1 Agustus 2022 untuk kendaraan roda empat.
“Untuk stok solar saat ini di Dapil kami aman, ini karena sebelumnya ada penambahan alokasi subsidi untuk BBM jenis solar,” kata Rofik Hananto.
Dia menuturkan, di sisi produksi, kalau dilihat pergerakan harga minyak mentah dunia, khususnya Brent yang jadi acuan biaya pengadaan BBM, trennya memang meningkat. Sejak 24 Februari 2022 ketika Rusia menyerang Ukraina, harga terus berada di level baru yang lebih tinggi.
“Memang terjadi lonjakan sesaat di awal perang dan fluktuatif naik turun selama beberapa bulan, tetapi secara umum tetap bertengger di level yang lebih tinggi dari sebelum perang Rusia-Ukraina,” katanya.
Di sisi konsumsi, di dalam negeri, disparitas harga antara pertamax (Rp 12.500 – 12.750) dan pertalite (Rp 7.650) cukup besar, sehingga wajar kalau terjadi pergeseran konsumsi dari pertamax ke pertalite, khususnya bagi warga yang daya belinya masih terbatas.
“Tapi pemerintah sudah merevisi asumsi harga minyak ICP menjadi USD 100, sehingga terjadi penambahan anggaran subsidi. Jadi harga pertalite yang merupakan JBKP (Jenis BBM Khusus Penugasan) tidak perlu naik harganya. Namun karena ada pergeseran konsumsi dari pertamax, maka volume pertalite yang tersedia akan cepat habis di SPBU,” katanya.