Rencana Kedatangan Utusan AS guna Majukan HAM LGBT Dibatalkan Saja, HNW: HAM dalam UUD NRI 1945 Tak Benarkan LGBTQ

Hidayat Nur Wahid
JAKARTA — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mendukung kritik dan penolakan pimpinan MUI terhadap rencana kedatangan utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk memajukan HAM LGBTQ, Jessica Stern, ke Indonesia bila kedatangannya, sesuai penugasan khususnya, untuk memajukan HAM LGBTQ.

Karena hal itu, imbuh Hidayat, selain bertentangan dengan ajaran Agama yang diakui di Indonesia, juga tidak sesuai dengan ketentuan HAM yang diakui oleh UUD NRI 1945, karena LGBTQ tidak sesuai dengan Agama yang diakui di Indonesia dan juga tidak sesuai dengan budaya yang berlaku di Indonesia.

“Apabila yang bersangkutan ingin mempromosikan untuk memajukan HAM LGBTQ, maka tidak perlu datang ke Indonesia. Karena LGBTQ tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan ketentuan HAM yang diakui oleh Konstitusi yang berlaku di Indonesia yaitu Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Apalagi, Pemerintah sudah sepakat dengan DPR untuk segera mengesahkan RUU KUHP yang salah satu ketentuannya adalah mengkategorikan perilaku menyimpang pencabulan sesama jenis sebagai tindakan yang pelanggaran hukum. Dan DPR juga sudah menyepakati usulan RUU Anti Propaganda Penyimpangan Seksual, RUU yang sangat sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Maka sudah sangat sewajarnya bila Pemerintah RI menyampaikan ketentuan yang berlaku di Indonesia, dan agar pihak Amerika Serikat menghormati kedaulatan hukum yang berlaku di Indonesia, agar pihak Amerika Serikat segera membatalkan rencana kedatangan utusan khususnya itu ke Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat(02/12).

HNW yang juga anggota Komisi VIII DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Agama dan Kementerian Sosial, mengatakan bahwa RUU Anti Propaganda Penyimpangan Seksual itu sudah diterima untuk dimasukan ke prolegnas (program legislasi nasional) DPR RI.

“Maka penting RUU tsb oleh DPR dan Pemerintah segera dibahas dan disepakati bersama untuk menjadi undang-undang yang sangat dinanti kehadirannya,” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW mengatakan kehadiran RUU tersebut untuk mengatasi persoalan propaganda penyimpangan seksual di Indonesia yang korban-korbannya juga makin membanyak. Pasalnya, kehadiran utusan khusus dari pemerintah AS itu untuk mempromosikan dan memajukan yang diklaim sebagai ‘hak asasi’ LGBT, yang tak sesuai dengan sistim hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia.

Sementara laku penyimpangan seksual di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat sendiri, juga masih menimbulkan penolakan dari kelompok sosial dan agama.

“Sebagai contoh, di Amerika Serikat sendiri ada aturan Pastor Protection Act di beberapa negara bagian. Isinya memberi perlindungan bagi pemuka agama yang menolak menikahkan pasangan sesama jenis sebagaimana dilakukan oleh kelompok LGBT,” tukasnya.

HNW juga meminta agar propaganda dan penerapan nilai-nilai yang dianggap ‘HAM (hak asasi manusia)’ tidak diterapkan dengan dalih universalitas tapi mengabaikan ketentuan HAM yang disepakati di komunitas lokal lainnya. Seperti soal LGBT ini. Konteks lokalitas, terutama kondisi paham keagamaan dan sosial masyarakat serta sistem hukum yang berlaku di masing-masing komunitas, juga harus diperhatikan.

“Apalagi kalau ada ketentuan Konstitusi yang berlaku di negara tersebut yang tidak melegalkan praktek menyimpang LGBT. Kalau dipaksakan juga, maka akan terjadi apa yang biasa disebut sebagai ‘human rights imperalism’, yakni penjajahan atas nama HAM,” ujarnya lagi.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan sudah tidak jamannya lagi dengan dalih HAM, suatu negara memaksakan nilainya diterapkan kepada negara lain. Ia mencontohkan beberapa negara yang belakangan juga menolak secara tegas penyimpangan LGBT, seperti Rusia yang melarang propaganda LGBT, Jepang yang belakangan melarang kawin sejenis sebagaimana dipraktekkan dikalangan LGBT, dan Qatar.

“Rusia dan Jepang melalui aturan hukum dan pengadilannya sudah tegas melarang laku menyimpang dari komunitas LGBT. Dan Qatar sebagai tuan rumah piala dunia juga menolak LGBT dan segala macam bentuk propaganda LGBT, dan ternyata sikap Qatar itu diperbolehkan oleh FIFA untuk menolak kampanye LGBT dalam perhelatan kompetisi final piala Dunia. Itu semua penting dikarenakan pelajaran untuk saling menghormati dan tidak bertindak fasis dengan memaksakan LGBT harus diterima oleh semua bangsa atau negara yang sistem ideologi maupun hukumnya menolak LGBT.

Karenanya, lanjut HNW, bila kedatangan Jesica Stren ke Indonesia dalam rangka memajukan propaganda HAM unt LGBTQ, semestinya dia menghormati HAM yang berlaku di Indonesia dengan mengurungkan niatnya, atau ditolak oleh warga sebagaimana sudah dinyatakan juga oleh Pimpinan MUI.

“Karena HAM yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur oleh Konstitusi yang berlaku di Indonesia, memang bukan HAM liberal seperti di AS, melainkan HAM yang tetap menghormati Agama. Dan ajaran Agama-Agama yang diakui di Indonesia, menolak LGBTQ,” pungkasnya.