“Wa’bud Robbaka Hatta Ya’tiyakal Yaqiin…!”

Khutbah ‘Iedul Adha 1445 H oleh “Tim Kajian Madrasatuna”

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah.

Khatib mengingatkan kepada diri sendiri dan juga kepada jamaah sekalian, agar senatiasa meningkatkan taqwa. Saat kita semua mati, hanya taqwa kita inilah yang menjadi harapan utama. Taqwa menjadi nilai ukur timbangan sekaligus kunci sukses saat kita semua berdiri di hadapan Raja Diraja. Sang Penguasa hari pembalasan : Allah ‘Azza wa Jalla. Sesungguhnya taqwa adalah sebaik-baik bekal.

وَتَزَوَّدُوۡا فَاِنَّ خَيۡرَ الزَّادِ التَّقۡوٰى وَاتَّقُوۡنِ يٰٓاُولِى الۡاَلۡبَابِ‏

“Berbekallah kamu, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (Al Baqarah: 197)

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah.

Hari raya yang kita rayakan hari ini hendaknya mengingatkan kita tentang komitmen dan loyalitas kepada Allah dan agamanya. Semua perkara yang terkait dengan prosesi haji dari awal hingga akhirnya tidak lain adalah bukti nyata kesetiaan ini.

Sesi berkumpulnya jama’ah haji di Armuzna (Arofah Muzdalifah Mina), adalah seri terakhir rangkaian haji. Ia merupakan satu kesatuan rangkaian yang dimulai dari Wuquf Arofah. Kemudian bermalam di Muzdalifah, dan berakhir di sesi lempar jumroh. Wuquf Arofah dan Mabit Muzdalifah adalah dua persemaian Robbani bagi jiwa-jiwa yang telah siap berikrar: ” Sami’na wa atho’na, kami siap menunaikan titah perintah Mu ya Rabb.!”

Refleksi diri Arofah dan Muzdalifah, tak semata mengeksplor segala perbuatan dosa berat maupun ringan yang pernah kita lakukan. Lalu kita menyesali sesesal-sesalnya atas perilaku itu. Lalu memanjatkan ampunan pada Allah, agar Dia berkenan memaafkan dan mengampuni dosa-dosa kita. Tapi yang paling asasi adalah, jangan ada anasir-anasir haram yang kita bawa ke dalam dua media Robbani yang suci itu, Arofah dan Muzdalifah. Jangan membawa niat yang haram, jangan membawa pikiran yang haram, jangan membawa barang-barang dari hasil yang haram. Tidaklah pantas membawa anasir haram ke tempat Allah yang suci itu.

Setelah proses kontemplasi Arofah Muzdalifah ini, ingatlah bahwa Allah menuntut konsistensi dalam kehidupan riil. Keharusan dan kewajiban memerangi seluruh anasir haram dari kehidupan. Baik dalam aktivitas rumah tangga, aktivitas mencari ma’isyah, aktivitas bermasyarakat, aktivitas berpolitik dan lain sebagainya.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah

Rangkaianz ketiga adalah jumroh (jamarat), yaitu melempar batu ke obyek sasaran yang sekarang semacam bangunan tembok batu. Ia merupakan kegiatan simbolik untuk mengenang sejarah “upaya keras setan untuk menggagalkan amanah Allah kepada Ibrahim ‘alaihissalam saat ia diperintahNya untuk menyembelih Ismail…!” Sekiranya kaliber keimanan Ibrahim, Hajar dan Ismail, hanyalah keimanan kaleng-kaleng, sulit dibayangkan, bermilyar manusia bisa menyaksikan syari’ah Haji yang amat megah ini.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah.

Allah memberi ujian paling dahsyat pada Ibrahim ‘alaihisalam. Saat Dia memerintahkan HambaNya yang Solih itu untuk menyembelih putranya Ismail. Bagaimana sayangnya Ibrahim pada Ismail..? Sungguh tak terkira….dan tak bisa kita bayangkan. Padahal saat itu, ia ingin menumpahkan kerinduan yang telah memuncak, setelah berbilang tahun tak melihat putra dan isteri lkesayangannya di pengasingan.

Maka secara hitungan logika kita, tak ada orang tua yang bakal sanggup melaksanakan ujian nyata yang super berat dan tak masuk akal itu. Bagaimana tidak? Seorang bapak begitu “tega” mengasingkan isteri dan putranya yang masih bayi merah bertahun-tahun di tempat gersang tandus. Pas bayinya tumbuh remaja, bukan malah diberi hadiah atau diajak liburan, eeh.. malah mau disembelih..! Waraskah seorang Bapak seperti Ibrahim.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah

Di sinilah ketegaran iman seorang Ibrahim ‘Alaihis Salam dan remaja Ismail. Mereka tak mengedepankan logika jika itu adalah “perintah Allah”. Akal ditaruh paling bawah bila perintah Allah telah dikukuhkan. “Sami’na wa atho’na”, itulah jawaban seorang mu’min sejati ketika Allah memerintahkan kita untuk menegakkan Risalah ya. Coba simak dialog dua orang ayah dan anak itu yang diabadikan dalam Al Qur’an:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Ketika anak itu sampai pada (usia remaja), ia telah sanggup bekerja bersamanya. Ia (Ibrahim) berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapat mu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar…!” (QS 37:102)

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah

Saat paling kritis, terjadinya pergulatan batin antara “sayang anak” dan “perintah Allah”, setan menyusup ke benak Ibrahim. Mengipas-ngipas jalan pikiran Hamba Solih, untuk membangkang pada perintah Allah itu.

Tidak berhasil menaklukkan Ibrahim, setan menyelusup ke benak Ismail, setan juga mempenetrasi jalan pikiran bunda Hajar. Setan terus memprovokasi jalan pikiran kedua ibu dan itu, agar mereka memprotes keras “ide keji” sang Ayah.

Setan terus mengerahkan para pakar penakluk iman keluarga Solih dan ta’at itu dengan amat gigih, secara bergantian. Tapi apa hasilnya..? Hizbusy syaithon kecewa, dan putus asa. Sebab yang mereka hadapi adalah “para sosok petarung Risalah sejati yang tak bisa tergoyahkan imannya oleh bujuk rayu iblis yang manapun..!” Buah kesabaran Keluarga Petarung Risalah sejati itu memang amat dahsyat dan bermultiplayer effect amat spektakuler terhadap semesta alam.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah.

Kesabaran keluarga petarung Risalah sejati itu terus beranak pinak tak pernah henti. Kesabaran itu telah melahirkan jutaan manusia petarung tauhid. Mengubah hidup manusia dari gelap menjadi terang. Kesabaran itu telah melahirkan kesadaran kolosal manusia tentang arti lkesopanan, kesucian, kehormatan, tentang makna kemuliaan.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah

Kenapa kita diperintahkan syari’at jumroh uula, wutstho, aqobah (3 kali)..? Ini adalah perintah simbolik..! Esensinya adalah tingkatan para setan itu berjenjang. Mereka tak akan pernah berhenti siang malam menjerumuskan anak-anak Adam agar mengikuti jejak mereka menjadi penghuni Neraka Jahanam. Bujuk rayu iblis amat logik kedengarannya. “Cepat kau sikat barang itu, mumpung tidak ada yang tau. Kesempatan itu cuma sekali. ” Don’t loose the gold chance”..!” Betapa banyak jutaan manusia yang kejebak oleh akalnya sendiri. Tidak menyadari bahwa itu adalah jebakan iblis yang akan menghancurkan karir dunia dan akhiratnya.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah.

Esensi jumroh adalah, agar kita jangan pernah terperdaya oleh tipu daya setan. Semangat jumroh adalah semangat untuk berperang melawan setan minal jinnati wannas madal hayah. Itulah esensi penghambaan kita kepada Allah, hingga kita menemuiNya. Teruslah perangi iblis dan seluruh rezimnya yang dzahir maupun batin. Jangan pernah lelah, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.

Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yaqiin…!

Tags: