QUDWAH (KETELADANAN) DALAM DAKWAH

Ibnu Jarir Ath Thabary menceritakan bahwa Umar bin Khattab, bila akan naik mimbar untuk menyuruh atau melarang rakyatnya tentang sesuatu, maka ia terlebih dulu mengumpulkan anak-anaknya. Lalu ia berkata: “Aku akan melarang manusia untuk ini dan itu. Dan mereka akan melihat kalian terlebih dahulu. Demi Allah, tidaklah aku temukan salah seorang kalian melakukan apa yang aku larang, melainkan akan aku lipatgandakan hukumannya!”

Imam Syafi’i memberi arahan kepada murabbi (pengasuh) anak-anak Khalifah Harun Ar Rasyid: “Hendaklah yang paling pertama engkau lakukan dalam memperbaiki anak-anak Khalifah, adalah memperbaiki dirimu sendiri. Sebab, di mata mereka yang baik itu adalah yang kamu anggap baik. Dan yang buruk itu adalah yang kamu tinggalkan.” Perhatikan kata-kata Imam Syafi’i, “yang engkau tinggalkan” bukan “yang engkau anggap buruk”.
Disitulah tinggi dan pentingnya qudwah dalam berdakwah.

Dari Mana Kita Memulai?

Seorang da’i berusaha menampilkan citra diri yang positif dan mempesona, yang bisa dinikmati keindahannya dan dicium semerbaknya oleh umat di sekitarnya. Kita memahami, bahwa kekuatan argumen dan bagusnya retorika, tidak akan berpengaruh tanpa dibarengi figur keteladanan yang kokoh sang da’i. Kenyataannya, keteladanan dan aura ruhiyah seorang da’i seringkali lebih mengena di hati orang yang berinteraksi dengannya.

1. Teladan dalam Aqidah

Dalam hal aqidah seorang da’i tidak boleh menampakkan sikap basa-basi apalagi lemah. Sikapnya tegas terhadap semua penyimpangan aqidah, baik paham-paham sesat sekte, atau syirik dan khurafat di masyarakat. Tentu ketegasan yang diekspresikan melalui ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan.

Ada contoh yang baik dalam hal ini, yaitu keteguhan aqidah Imam Ahmad bin Hambal (w. 241H) ketika ia dipenjara dan disiksa selama tiga masa khalifah, lantaran ia menentang dengan keras paham yang menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk sebagaimana paham Mu’tazilah. Sikap tegas Imam Ahmad ini berefek luar biasa setelah ia wafat, diriwayatkan bahwa ketika ia wafat, mayatnya diantar oleh delapan ratus ribu laki-laki dan enam puluh ribu wanita, dan kurang lebih dua puluh ribu orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi masuk Islam. (Drs. Fatchur Rahman, Ikhtshar Musthalahul Hadits, hal. 375)

Begitu pula Said bin Jubair, tokoh ulama masa tabi’i, ia rela disembelih algojo gubernur tiran Al hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Pada saat disembelih, ia mengakhiri hayatnya dengan untaian kata yang indah: “Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi–Nya. Muhammad adalah hamba dan rasul Allah, ambil-lah persaksianku ini sampai engkau berjumpa denganku di hari kiamat. Allahumma ya Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya sesudahku.” (Wafayat Al A’yan, 2/371)

Ustadzah Zainab Al Ghazaly adalah contoh da’iyah mujahidah tegar masa kini. Ketika ia divonis oleh pengadilan Mesir berupa hukuman lima puluh tahun penjara, ia justru teriak lantang, “Allahu Akbar lima puluh tahun fi sabilillah!”

2. Teladan dalam Akhlak

manusia lebih banyak mengikuti dan percaya dari apa yang kita lakukan dibanding mengikuti apa yang kita ucapkan. Karena itu, hati-hatilah, perilaku seorang da’i adalah hujjah bagi umat yang melihatnya. Maka menjaga keteladanan akhlak adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi

Paling tidak, da’i memiliki husnul khuluq secara standar yang seharusnya ada pada seorang muslim berakhlak. Itu saja sudah cukup baginya menjadi ‘yang terindah’ di tengah masyarakat yang kosong keteladanan. Tentunya hal itu dicapai dengan perjuangan yang tidak mudah. Akhlak standar itu sebagaimana yang terpampang dalam Al Qur’an dan As Sunnah

3. Teladan dalam Ilmu

Seorang da’i adalah seperti seorang guru bagi muridnya. Ia tempat manusia bertanya, meminta solusi, dan mencari masukan. Maka, seorang da’i yang bertanggung jawab dan menghormati mad’u adalah da’i yang selalu membekali dan memperkaya dirinya dengan ilmu. Sudah selayaknya –dan inilah yang dipahami secara umum- da’i harus lebih berwawasan lebih dibanding umat yang diserunya. Inilah salah satu kewibawaan baginya. Memang dengan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat derajat manusia.

4. Teladan dalam Ibadah

Seorang da’i, ia teladan dalam ketepatan shalat pada waktunya dan berjamaah. Ia amat keras usahanya untuk itu. Ia menjaga wudhunya dari apa yang membatalkannya dan amat memperhatikan adab-adab, seperti adab tilawah, adab doa, adab di masjid, adab makan dan minum, adab safar dan di jalan,

Menjaga shaum sunah, shalat nawafil, sedekah sunah, dan dzikir, lalu ia menyembunyikan itu semua. Biar hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang tahu. Sebab hanya Dia yang memberikan ganjaran, selainnya tidak bisa memberikan apa-apa walau melihat amal-amal tersebut.

5. Teladan dalam Berkeluarga

Seorang da’i harus bisa menampakkan citra keluarga dakwah dan harakah. Keluarga yang tegak amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Rumah mereka benar-benar tempat berteduh, suami tempat bercerita, istri tempat melabuhkan hati, dan anak sebagai penyedap pandangan mata. Potensi perselisihan tetaplah ada, namun mereka –selain menyerahkan semua kepada Allah- juga memiliki cara Islami untuk menyelesaikannya, seperti tidak boleh bermusuhan lebih tiga hari, mudah memaafkan, mengalah walau benar, tidak membandingkan istri atau suami dengan yang lain, bersyukur atas pemberian dan pelayanan, dan seterusnya.

Laman: 1 2