Maka Nabi berpuasa pada hari ‘Asyura bersama para sahabat, bukan karena menyerupai kaum Yahudi. Pertama karena sebelumnya saat di Makkah sudah berpuasa juga. Kedua, karena Beliau dan umatnya lebih berhak mensyukuri keselamatan Nabi Musa dibandingkan kaum Yahudi, disebabkan kaum muslimin beriman kepada seluruh Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Musa as.
Kemudian, Rasulullah SAW melengkapi syariat puasa ‘Asyura ini dengan keutamaan dan kemuliaannya. Tentunya itu bersumberkan kepada perintah atau wahyu dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya: “Puasa hari ‘Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu” (HR. Muslim).
Dalam riwayat yang lain dikatakan:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Artinya: “Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, maka Beliau bersabda: “Puasa ‘Asyura dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun yang lalu” (HR. Muslim).
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum puasa ‘Asyura sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Sebagian ulama menyatakan puasa itu hukumnya wajib, yaitu dari dari kalangan madzhab Hanafi. Sebagian yang lain terutama dari kalangan madzhab Syafii dan Hambali menyatakan hukumnya sunat muakkad.
Adapun pasca turunnya kewajiban puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura statusnya adalah puasa sunat. Tidak lagi wajib seperti pendapat pertama, atau sunat muakkad pada pendapat kedua.
Kurang satu tahun menjelang wafatnya Rasulullah SAW, ada sahabat yang bertanya kepada Beliau tentang puasa ‘Asyura ini. Dimana kaum Yahudi mengagungkan dan merayakan hari tersebut. Akibatnya Rasulullah SAW menjawab:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Artinya: “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.”
Ternyata belum sampai bulan Muharram tahun depannya, Rasulullah SAW sudah wafat. Ibnu Abbas mengatakan:
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Artinya: “Belum sampai tahun depan, Rasulullah SAW sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim).
Dengan demikian Rasulullah SAW sudah mengajarkan (mensyariatkan) kepada para sahabat tentang rencana puasa hari ke 9 Muharram (tasu’a). Namun belum sempat dilaksanakan karena keburu wafat.
Maka, puasa Tasu’a menjadi sunat hukumnya karena alasan berikut:
1. Rasulullah SAW berniat melakukan puasa tersebut di tahun yang akan datang dan mengajak para sahabat untuk melakukannya.
2. Menjadi puasa pembeda antara puasa kaum muslimin dengan puasa kaum Yahudi. Dan menyelisihi ibadah kaum Yahudi adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW.
Karena itu, berpuasa pada hari Jum’at 28 Agustus 2020 (tasu’a) adalah sunat. Kemudian berpuasa pada hari Sabtu 29 Agustus 2020 (‘Asyura), juga sunat, dengan keutamaan yang besar. Bagi yang tidak sempat berpuasa pada hari Jumat 28 Agustus, bisa menambahkan puasa pada hari Ahad 30 Agustus, untuk menghidupkan sunnah Rasulullah SAW dalam menyelisihi kaum Yahudi.
Wallahu A’laa wa A’lam.***
Tags: 'Asyura, Irsyad Syafar, khazanah, PKS