Ada Apa dengan Kitab Fathul Mu’in? (Bagian 2)

Kitab Fathul Mu'in yang dilomba-baca-kan di PKS
Oleh: Dr. Zenal Satiawan, Lc., M.A.
(Ketua Dewan Syariat PKS Kepri)

Gaya Penulisan

Dari segi penulisannya, kitab Fathul Mu’in memiliki keunikan tersendiri dari kitab-kitab fikih yang lain. Dari pembahasan awal saja, Syekh Zainuddin menulis bab shalat terlebih dahulu. Dalam kitab-kitab fikih pada umumnya, biasanya pada bab awal membahas tentang aturan bersuci (thaharah).

Selain itu, kitab ini juga dikenal sebagai kitab yang cukup sulit dalam penempatan rujukan sebuah dhomir (kata ganti). Pada pembahasan syarat-syarat shalat misalnya. Bila diteliti pada kitab-kitab fikih pada umumnya, syarat-syarat shalat memiliki bab atau fasl tertentu dan pembahasannya tidak ke mana-mana; tapi dalam kitab Fathul Mu’in, pada halaman 4, kita disuguhkan pembahasan tentang pengertian syarat shalat dan syarat pertama yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan shalat.

Perbedaan berikutnya dari kitab ini adalah bahasan akhir dari syarat shalat itu berakhir pada halaman ke-15. Padahal secara sekilas syarat shalat hanya ada lima, yaitu menghadap kiblat, suci badan, pakaian dan tempat najis, suci dari hadats kecil dan besar, masuk waktu sholat, dan menutup aurat. Tapi ketika menjelaskan satu persatu, masih mampir-mampir ke pembahasan lainnya.

Misalnya, syarat shalat harus suci dari hadats kecil, tentunya pembahasan ini masih berkaitan dengan bab wudhu’, maka pada bab pembahasan itu pula diterangkan wudhu beserta perinciannya. Seperti tata cara, kesunahan, hal-hal yang membatalkan hingga kasus-kasus yang menjadi topik menarik dan penting dari bab wudhu itu sendiri.

Tak heran bila kitab ini disusun sengaja dengan tidak sistematis, sehingga bagi pengkaji ilmu fikih, ada tantangan tersendiri saat mempelajari baris demi baris dari kitab Fathul Mu’in. Kita diajak berpikir dan merenungi khazanah keilmuan Islam warisan ulama yang berbeda dari kebanyakan kitab.

Selain itu, ada beberapa ‘tanda’, semacam terminal pembahasan dalam kitab Fathul Mu’in, yang ditebalkan tulisannya. Terminal pembahasan ini layaknya terminal bus antar kota, sebuah tempat berhenti, memulai dan tetenger (tanda, red) yang perlu digarisbawahi keadaannya.

Terminal pembahasan itu ada yang bernama far’un, atau bahasa simpelnya adalah permasalahan cabang. Jadi ketika kita membahas tentang bab najis misalnya, Syekh Zainuddin akan membahas kasus tertentu yang biasa terjadi di masyarakat pada umumnya dan menjelaskannya secara rinci. Selain itu, ada juga yang bernama tanbihun (peringatan) dan faidah (manfaat).

Jadi, dalam terminal tanbihun ini, penulis kitab seolah mengingatkan pada bahasan yang dibahas itu terdapat catatan yang penting sekali. Misal pembahasan tentang udzur kebolehan tidak melaksanakan shalat berjamaah. Sehingga ketika ada lafadz tanbihun, penulis menerangkan pentingnya menerangkan keterangan hukum udzur tidak melaksanakan shalat berjamaah karena terdapat ulama yang menghukumi shalat jamaah hukumnya fardhu ‘ain, sehingga perlu diterangkan udzur-udzur kebolehan tidak shalat berjamaah dan ia tidak berdosa bila terdapat udzur yang telah diterangkan tersebut.

Selain itu, juga terdapat istilah qoidah. Syekh Zainuddin dalam karyanya ini menyelipkan pengaplikasian kaidah fikih sehingga membuat kita lebih mudah mempelajari ilmu fikih. Seperti kaidah pada halaman 13 yang berbunyi :

أّنَّ مَا اَصَلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ الظَّنُّ تَنَجُّسَّهُ لَغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِي مِثِلَهَ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَي الْاَصْلِ وَالظَّاهِرِ اَوِ الْغَالِبِ اَرَجَحُهُمَا اَنَّهٌ طَاهِرٌ

Artinya: Sesungguhnya asal dari sesuatu itu apabila suci dan kemungkinan besar kemudian terdapat sesuatu yang menajiskannya, maka terdapat dua qoul yang masyhur: mengikuti hukum asal (suci) dan hukum kaprahnya (najis). Yang paling unggul dari dua pendapat tersebut adalah suci.

Teks kitab di atas merupakan implementasi dari kaidah fikih:

اَلْاَصْلَ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

Artinya: Hukum asal adalah tetapnya sesuatu atas keadaan sebelumnya.

Sehingga, ketika pembaca mendapati kasus berupa keragu-raguan seperti kasus yang ada dalam kitab Fathul Mu’in tadi, kita cukup berargumen dengan kaidah fikih tersebut.

Terakhir, adanya tatimmah atau muhimmah (penyempurna/penting) sebelum mengakhiri pembahasan. Hal itu sebagai penyempuna dari fasl tersebut.

Kitab ini disarankan dibaca oleh orang-orang yang pemahaman keagamaannya di atas orang awam, karena pembahasan yang disusun terbilang berat; sehingga membutuhkan pemikiran dan analisa yang lebih untuk mencerna maksud yang disampaikan serta dapat menerapkan hukum-hukum yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Namun di luar itu, bahasa yang digunakan dalam kitab Fathul Mu’in terbilang ringkas. Untuk itu, demi mempermudah pembelajaran dan pengkajian terhadap kitab ini, banyak ulama yang membuat karya lanjutan yang berupa Hasyiyyah (komentar penjelas).

Di antara karya yang paling populer di Indonesia adalah Hasyiyah I’anah at-Thalibin karya Sayyid Abi Bakar Syato ad-Dimyati (w. 1310 H) dan Tarsyih al-Mustafidin karya Sayyid Alawi bin Ahmad Assegaf (w. 1335 H).

(Tamat)