Oleh: ST Sadanur (Pendukung AMIN)
Untuk memenangkan Pilpres dibutuhkan perhitungan yang matang, bukan perasaan ‘pasti menang' yang dibuat-buat. Bahkan, perhitungan yang matang pun bisa jadi memberi hasil yang tidak memuaskan sebab selalu ada faktor X. Tugas kita hanyalah meningkatkan prosentase kemungkinan menang sampai mendekati 100%. Tidak ada istilah 100% pasti menang. Angka kepastian hanyalah milik Tuhan. Dalam hal ini, kalkulasi yang matang dan kerja yang terukur terarah tentu lebih meningkatkan prosentase kemungkinan menang daripada perasaan akan menang dan kerja-kerja yang sporadis.
Dalam menyikapi hal itu, pendukung AMIN (Anies-Muhaimin) terbagi menjadi 3 jenis. Yang pertama adalah mereka yang menganut realisme yang terlalu pragmatis. Mereka menjadi yakin bahwa AMIN pasti kalah, tidak punya harapan menang di pilpres 2024. Mereka tentu tidak mengatakannya secara umum, namun dari gestur sudah terlihat jelas bahwa mereka menyerah. Apalagi melihat lawan yang “Over Power” secara popularitas dan sumberdaya. Perasaan inferior itu semakin kuat tatkala membaca hasil survei yang menjadikan AMIN selalu di urutan buncit.
Jenis yang kedua adalah mereka yang menganut idealisme yang terlalu utopis. Mereka punya keyakinan kuat bahwa “AMIN pasti menang” namun tidak disertai bukti-bukti yang mendukung. Mereka hanya menggunakan perasaannya tanpa didukung kalkulasi yang cukup. Mereka biasanya adalah jenis pendukung yang memiliki komitmen agama yang bagus namun tidak dilengkapi dengan perhitungan politik yang cukup. Biasanya mereka menganggap hasil survei yang selama ini memojokkan AMIN adalah setingan. Semua ini adalah konspirasi. Mereka adalah yang meneriakkan jargon-jargon bombastis untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya adalah ragu-ragu.
Jenis yang ketiga adalah mereka yang optimis. Optimis adalah titik tengah antara realisme yang pragmatis dan idealisme yang utopis. Mereka memilih untuk mencerna keadaan dengan sebaik-baiknya guna menyusun target yang mungkin dengan upaya yang mencukupi. Mereka tidak menuduh hasil survei itu setingan sebelum mempunyai bukti yang cukup. Toh, Hasil survei tidak menggambarkan hasil pilpres, hasil survei hanya menggambarkan hasil di tanggal survei itu dilaksanakan. Hasil survei yang menempatkan AMIN di posisi ke-3 justru membuat mereka bekerja lebih keras dan lebih terukur.
Mereka yang optimis adalah mereka yang menerima kondisi hari namun tetap menatap cita-cita esok hari. Gap antara kondisi dan cita-cita itulah yang membuat mereka merencanakan gerak dan membagi energinya secara bijak. Bukan malah tidak menerima hasil survei dan lebih mempercayai polling tidak jelas di media sosial.
Mereka yang optimis juga adalah mereka yang rendah hati. Mereka yakin kemenangan tidak ditentukan oleh usaha mereka. Tidak ada usaha yang bisa memastikan 100% berhasil. Mereka percaya bahwa ada faktor X yaitu takdir. Usaha dan tentu doa mereka hanyalah bukti untuk menunjukkan kesungguhan kepada Pemilik Takdir. Oleh sebab itu, jika nanti AMIN menang, mereka tidak akan meng-klaim sebagai yang paling berjasa, namun jika kalah mereka tidak akan depresi luar biasa.
Pesimisme tentu membunuh gerak kita. Kita enggan bergerak jika percaya bahwa kita akan gagal. Idealisme yang tidak berdasar juga akan membuat kita lengah sebab seolah-olah sudah pasti menang. Yang terbaik adalah kita tetap optimis: menerima keadaan hari ini dan bekerja untuk memangkas jarak kondisi hari ini dengan target esok hari.***