“Namanya Juang.”
Aku terkejut. Menengok sosok di sebelahku. Perempuan tua dengan rambut putih yang asing. Ia seolah bisa membaca pikiranku.
Tanah di kuburan Juang terlihat baru. Guguran bunga meski layu menyisakan wangi kesedihan. Kedua ujungnya dibatasi dengan kayu penanda. Tertulis nama Juang berikut nama ayah dan masa hidupnya.
“Kasihan mati muda,” gumanku pelan.
“Mati tua pun rugi jika tak beramal,” perempuan tua itu berkomentar.
Aku mengangguk demi menghormati nasehat perempuan itu. Kutaksir usianya lebih tua dari ibuku. Hampir seluruh rambutnya memutih sempurna. Kedua alisnya bertaut meski warnanya tak lagi hitam.
“Emang bener Bu, Juang meninggal dihajar oknum aparat?” Aku membuka obrolan.
Kukeluarkan kamera dari ranselku. Ku foto beberapa kali nisan Juang. Juga suasana sekitar pemakaman. Sebetulnya tugasku hanya mencari foto tambahan terkait korban. Bukan mengulik kebenaran berita.
Perempuan tua itu angkat bahu. Tak menjawab.
“Oh, saya kira ibu warga sini,” Aku meminta maaf atas pertanyaanku.
Ku masukkan kembali kameraku. Lantas mengirim pesan ke Bayu, rekan seniorku.
[Udah dapet fotonya Bang. Aku langsung balik atau kemana lagi?]
Sent.