Leadership is contribution not position. Walaupun frase ini agak wagu (ngapunten, Tadz), tapi pesannya sahih.
Lalu obrolan di universe lain:
“Ngerasa jadi ban serep, Mi. Ditunjuk karena yang lain pada nolak.”
Saya jawab: “Amanah itu amanah, bukan kemuliaan. Mau ban serep, mau ban gundul.”
Anggota WA lain: “Yang penting bannya muter. Udah.”
***
Amanah = jabatan = kemuliaan adalah galat logika yang sangat umum terjadi, bahkan di organisasi dakwah.
Pekan terakhir ada dua arus yang sama menarik direnungkan. Pertama, yang merasa tidak pantas diberi amanah (baca: jabatan/posisi). Tergambar pada komen ban serep di atas. Dan kedua, yang masygul karena ga ada yang ngasih amanah 😩
Disclaimer. Gak ada lain, tiap kata dalam tulisan ini adalah renungan bagi diri saya sendiri.
Pertama, amanah itu ujian keimanan. Dan amanah gak selalu soal jabatan. Ada yang menjabat, tapi gak amanah. Ada yang gak punya jabatan, tapi kontribusinya melangit memberati mizan.
Kedua, diberi amanah bukan berarti lebih mulia, ga diberi amanah bukan berarti gak berguna.
Ya. Kita kenal 10 sahabat yang dijamin masuk surga, semua punya jabatan publik. Tapi betapa banyak sahabat Nabi SAW yang berkontribusi, tanpa punya posisi formal.
Abu Hurairah r.a. bukan panglima perang, tapi perawi hadits terbanyak — kontribusi ilmunya mengalir hingga bila-bila masa. Ummu Sulaim r.a. bukan ummahatul mukminin, tapi mendidik putranya, Anas bin Malik, hingga menjadi pelayan setia Rasulullah ﷺ.
Saya ingat cerita Ustadz Hilmuddin Sulani tentang seorang akh yang pendiam dan gak menonjol, tapi di tiap kegiatan tangannya ‘ga henti berkontribusi’: merapikan sandal sepatu, ngangkatin kursi, cuci piring dan menata barang-barang peserta kembara. “Kontribusinya mungkin kecil, tapi kalo dia ga ada kita baru sadar. Kita seperti kehilangan sesuatu.”
Ketiga, kontribusi tanpa henti, gak harus nunggu posisi.
Kontribusi harga mati! Bukan semata kalo ada posisi. Ke mana menguap khoyrun naas anfaauhum linnas? Bukankah yang paling menjabat, paling besar juga pertanggungjawabannya?
Bukankah kontribusi diukur dari manfaat, bukan titel? Ada yang memimpin dari podium, ada yang berkontribusi di balik layar — Allah melihat keduanya selama ikhlas.
Ada yang sabar membina, bukan satu dua. Tak dibayar tentu saja, harus menyisihkan uang belanja nan tak seberapa demi ongkos dan giliran konsumsi. Namanya tak tersebut berita, tapi jangan-jangan malaikat bertasbih ke atasnya.
Keempat, yang menjabat jaga niat, yang gak menjabat teruslah berbuat.
Di Perang Tabuk, sahabat miskin yang gak bisa ikut perang menangis bukan karena kehilangan kehormatan, tapi karena merasa gak bisa berkontribusi. Kita? Menangis karena anggota dewan yang katanya saudara itu gak buka jendela mobil. Hiks.
Yang menjabat merendahlah. Yang gak menjabat berbahagialah.
***
Memang berat. Istiqomah, baik menjabat pun tidak menjabat itu berat.
Apa lagi kita tiba di masa di mana ukuran-ukuran mulai bergeser karena pintu dunia kian menganga. Ada tujuan yang juga bergeser karena mulai sawang sinawang “dia dapat sesuatu, kok aku cuman dapat capeknya”.
Untuk semua yang namanya akan diumumkan, pun kita semua baik yang ingin namanya disebut atau justru sebaliknya, semoga Allah catat sepanjang usia sebagai pembuktian amanah.
Hingga husnul khatimah. Aamiin.
Salam takzim. MERDEKA!
Bandar Lampung, Hari Pramuka – 14 Agustus 2025
Detti Febrina